KELANA SEPAKBOLA KE MANILA FILIPINA

8:04 PM



19 November 2016.




"Jadi mas ke filipina khusus mau nonton bola aja?"

Begitulah respon dari mbak-mbak berhijab asal Jakarta yang saya temui pagi-pagi di lounge sederhana pada sebuah hostel di Manila, setelah sebelumnya terlibat obrolan yang diawali dari mbak itu menghampiri ke meja saya  karena melihat saya mengenakan kaos bertulis "Pride Of Bekasi" milik komunitas standup Bekasi. Sengaja memang saya kenakan kaos itu di negeri orang karena mungkin bisa jadi media untuk mempererat silaturahmi sesama WNI, dan ternyata cukup berhasil.

Lingkungan ketika SMP lah yang membuat saya mengikuti perkembangan sepakbola nasional (yang disitu-situ saja) dan juga akhirnya memutuskan menjadi bagian penggemar klub London langganan juara (harapan 1). Tiap senin dan kamis sore di salah satu kediaman teman saya selalu tersedia koran BOLA sehingga makin seringlah khazanah persepakbolaan nasional saya mendapat asupan. Bambang Nurdiansyah,Ansyari Lubis,Yudo Hadianto, dan nama-nama lawas pemain sepakbola lokal pun sering saya pakai sebagai subjek dalam kalimat kalau ada tugas Bahasa Indonesia. Lebih-lebih ketika mulai melanjutkan ke masa SMK dimana saya memilih bersekolah jauh di bagian barat Jakarta dan disana mempunyai lingkaran pertemanan yang beberapa diantaranya cukup antusias menyaksikan langsung pertandingan sepakbola lokal di Senayan maka makin terpengaruh lah saya.  Tetapi jangan ajak saya bermain bola karena kemampuan mengolah kulit bundar jauh lebih minim dari pakaian model majalah dewasa. Hal-hal tersebutlah  yang melatarbelakangi saya memasukan ke bucketlist agar kelak harus bisa menyaksikan dan mendukung Tim Nasional Indonesia tidak hanya di Jakarta tapi juga di luar negeri,selain berwisata ke London utara umumnya cita-cita jamaah Arsenaliyah.


Sebulan sebelum AFF 2017 saya coba mengumpulkan informasi untuk bertandang ke Filipina sang tuan rumah grup A. Menariknya di AFF tahun ini adalah kejuaraan pertama setelah FIFA membuat Federasi kita menjadi layaknya nugget, dibekukan, sehingga termarjinalkan dalam pergaulan persepakbolaan internasional.  Saya kuatkan niat, mencoba memberanikan diri sedikit nekat untuk ke luar negeri pertama kalinya demi Garuda. Telusur-telusur akhirnya saya mendapat kabar dari social media kalau beberapa rombongan Aremania mempunyai niatan yang sama untuk Away Day. Saya pun mencoba berkomunikasi dengan mereka,ya setidaknya disana saya tidak berasa sendirian dan jika terjadi sesuatu pada saya saat disana saya punya nomor kontak yang bisa dihubungi. 


Hari itu tiba saya pun berangkat menuju Negeri asal Christian Bautista tersebut, tetapi jarang bisa didapat flight langsung kesana sehingga mengharuskan saya transit di Changi slama hampir 5 jam. Saat boarding di Changi menuju ke Manila lah saya akhirnya bertemu WNI yang kelihatannya bertujuan sama dengan saya. Ya terlihat dari baju yang ia pakai yaitu jersey Timnas saat masih berapparel adidas,entah sengaja atau tidak. Padahal match baru berlangsung esok hari. Dari situ lah saya mulai terlibat percakapan, dia bernama mas Agung berasal dari Jogja. Ia berangkat karena diajak kawannya yang bekerja di Media dan telah sampai lebih dahulu di Manila. Yang luar biasa dari Mas Agung adalah dia nekat berangkat menggunakan paspor yang sudah kadaluarsa beberapa bulan. Sempat terhambat di bandara Jogja tapi karena ada korespondensi dengan “orang dalem” akhirnya bisa sampai dengan selamat di Manila. Luar biasa memang. Dari Mas Agung inilah saya dapat info ternyata ada satu lagi anak Jakarta yang ada di flight yang sama.
Explore seisi bandara efek transit lebih dari 4 jam.

Setelah 3 jam perjalanan sampailah saya di Ninoy Aquino Intl Airport. Disitu saya akhirnya memutuskan untuk bertemu lagi dengan Mas Agung dan anak Jakarta yang tadi sempat ia ceritakan. Dia adalah Brian anak Tebet dan juga seorang Jakmania. Jangan tanya loyalitasnya kepada Klub berlambang Monas itu, berbagai daerah sudah ia sambangi untuk Away termasuk Bandung walau dengan oleh-oleh membawa mobil yang sedikit rusak terkena timpukan batu. Perkara nasionalismenya pun tak perlu ditanya kalau anda melihat punggungnya berajahkan burung Garuda lambang negara kita. Lalu kami bertiga langsung mencari teman dari Mas Agung yang sudah menjerumuskan Mas Agung ke awayday ini. Setelah bertemu dan saling berkenalan kami berempat langsung memesan transportasi online untuk mempercepat mobilisasi ke penginapan. Bandara di sini sudah memfasilitasi transportasi online berbeda dengan bandara kita yang melarang karena bertentangan dengan Undang-Undang Transportasi (katanya). Saat itu saya yang belum tahu hendak menginap dimana akhirnya ikut saja. Sempat ditawarkan kamar kosong yang terlanjur disewa oleh temannya Mas Agung tetapi orangnya baru sampai di Manila esok pagi karena ada masalah dengan paspornya. Yang setelah dijelaskan ternyata orang yang dimaksud adalah bapak dari Airlangga Sucipto eks Persija Jakarta. Ah saya yang merasa tidak enak untuk menumpang kamar gratis akhirnya memilih ikut dengan Brian menyewa kamar di hostel yang sama. Kebetulan lokasi penginapannya mereka sama di daerah Malate jadi masih searah. Sebenarnya lebih tepat saya sebut dormitory karena yang kami sewa berbentuk kamar yang jadi satu dengan tamu lainnya,jika beruntung ya bisa sekamar dengan perempuan. 

Bisa sekamar dengan cewek bule. Dasar budaya barat.

Tak lama setelah check-in yang pertama kami cari adalah makan malam,perjalanan hampir 3 jam tentunya membuat perut ini mulai menuntut haknya. Kami berdua pun mencoba mencari makan dan pilihan jatuh ke jolibee,waralaba makanan cepat saji terkenal di filipina,semacam KFC dan Mcd, tetapi saya belum pernah menemukannya di Indonesia. Untungnya di jolibee ada menu yang menyediakan paket ayam dengan nasi, ya  namanya orang Indonesia belum terasa sudah makan kalau tidak mengonsumsi nasi. Yang kurang hanya tidak adanya saus cabe. Yang ada saus kental beraroma seperti kaldu seperti yang biasa ada di atas steak, tetapi disini dipadukan dengan ayam goreng. Perlu bantuan google untuk saya tahu namanya, yaitu adalah saus gravy. Dasar norak. Jam sudah menunjukkan hampir jam setengah dua pagi waktu Manila,kami pun kembali ke hostel untuk beristirahat karena besok adalah harinya Timnas.

Restoran cepat saji di Filipina

Payah gak ada saus cabe.

 
Pagi pun datang,sudah lewat jam 7 namun Brian masih tertidur. Saya meninggalkan kamar beranjak ke lantai 5 demi komunikasi dengan keluarga dan pacar di tanah air. Maklum saya tidak membeli nomer lokal demi menekan budget pengeluaran, sementara cuma disana ada satu-satunya koneksi wifi di hostel ini. Disinilah saya bertemu mbak-mbak berhijab yang menghampiri meja saya.

"Maaf mas dari Indonesia ?"
"Eh iya mbak, mbaknya orang Indonesia juga?"
"Iya mas. Ternyata bener, abis dari tadi saya ngelihat kaos mas ada tulisannya Bekasi pasti dari Indonesia"

Mendengar itu sungguh saya merasa tenang ada orang yang masih menganggap Bekasi termasuk bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,bukan dari gugusan planet lain. Dan dialog pun berlanjut dari mulai sharing spot wisata di sekitar Manila hingga tempat yang menyediakan makanan halal. Sampai akhirnya mbak itu sedikit heran ketika saya bilang tujuan utama hendak menyaksikan pertandingan sepakbola. Padahal saya pun tidak kalah heran bagaimana mbak itu bisa traveling jauh-jauh ke Filipina sendirian. Iya sendirian tanpa seseorang pun menemani. Obrolan kami tidak berlangsung lama karena mbak yang saya lupa namanya itu hendak melanjutkan solo traveling nya. Sendirian duduk menikmati wifi saya pun memesan kopi, kopi sachet instan seperti yang dijajakan starlink (Starbuck Kelilink). Sambil menikmati kopi tidak lama Brian datang dan kami pun mulai membicarakan rencana nanti ke Stadion. Stadion tempat pertandingan berlangsung bukan di Manila tapi di Bocaue hampir 30km jadi lumayan lah bisa lebih dari satu jam menuju kesana. Info yang beredar KBRI di Manila memfasilitasi transportasi ke venue untuk warga Negara Indonesia. Jadi jelas tujuan kami adalah ke sana, tetapi sebelumnya kami akan menemui dua orang lagi orang Indonesia yang baru tiba pagi hari di Filipina, kenalan Brian dari aplikasi couchsurfing.
Wifi hostel hanya ada disini.


Kalau malam tempat ini menjadi semacam lounge/mini bar.




Kembali menggunakan aplikasi transportasi online buatan negeri jiran kami beranjak menuju Makati, sebuah distrik bisnis di Manila, sisi paling metropolitan layaknya Sudirman di ibukota, dan disini pula lah KBRI berada. Brian sudah membuat janji untuk meetup di tempat paling mudah ditemukan, jolibee sekitaran makati. Ada Erwin dan Aldo sudah menunggu disana, maka bertambah dua orang lagi rombongan kami. Sudah sampai di jolibee mengapa tidak sekalian sarapan, kali ini saya memesan spagetinya setelah semalam mencoba ayam goreng dengan saus gravynya. Setelah chit-chat obrol-obrol kami berempat pun langsung menuju KBRI dengan berjalan kaki secara menurut maps google jaraknya memang tidak jauh. Anda pernah ditilang karena hal sesepele motor anda tidak ada tutup pentil ban? Tenang saja, sembari berjalan Erwin menceritakan pengalamannya yang lebih buruk yaitu ditilang karena menyeberang jalan sembarangan di Makati. Menyeberang tidak pada tempatnya. Belum cukup dia harus membayar denda atau diberi sanksi membersihkan saluran air. Luar biasa. Itulah yang membuat kami yang berjalan mencari KBRI menjadi sangat hati-hati melihat rambu-rambu dan terutama garis belang-belang putih di jalan yang biasanya kami selalu tidak acuhkan pastinya. Entah hari itu adalah hari patuh lalu lintas se-Filipina atau memang budaya tertib mereka khususnya di Makati sudah jauh diatas kita, karena memang tidak jauh dari kami berjalan pun saya melihat sebuah mobil yang sedang ditilang karena parkir sembarangan. 
Sudirman-nya Manila.

Ditilang karena parkir


Hampir dua puluh menit kami berjalan,bertanya warga sekitar akhirnya sampailah di Kedutaan Besar Republik Indonesia,wilayah teritorial kami di Manila. Ramai, itulah yang pertama kali terbersit di pikiran saya. Yel-yel berkumandang,bendera merah putih berkibaran,beberapa warna klub-klub lokal terlihat berbaur menjadi satu,termasuk rombongan Aremania yang pernah saya kontak sebelum berangkat ke Manila. Speechless. Tidak lama kami saling bertegur sapa. Mereka nampak sangat hangat dan ‘welcome’, terutama rekan-rekan yang jauh merantau di Filipina, mungkin efek jauh dari kampung halaman jadi terlihat antusias kedatangan tamu jauh dari tanah air. Disini pula ada rekan dari Jakarta juga Bung Johanes yang membagikan stiker secara cuma-cuma bergambar Burung Garuda berlatar warna merah bertuliskan Indonesia On Tour. Ciamik.
Halaman depan KBRI bernyanyi bersama.


KBRI di Manila mengakomodir transportasi bahkan tiket pertandingan untuk para supporter Indonesia secara cuma-cuma. Hal yang sangat menguntungkan khususnya untuk saya yang belum membeli tiket, ya setidaknya menekan budget pengeluaran juga. Rombongan semuanya diangkut menggunakan beberapa bis menuju Philipine Stadium di Boceau. Perjalanan menuju stadion tak ubahnya melewati tol menuju Bandung di libur panjang akhir pekan. Apalah gunanya saya di Jakarta macet-macetan dan sudah terbang jauh ribuan kilo pun tetap bermacet ria. Lebih dari sejam kami bersabar menembus kemacetan hingga akhirnya tiba di komplek olahraga tempat berlangsungnya pertandingan. Sudah nampak venue besar dari tepi jalan, sampai ada wartawan mengingatkan bahwa yang besar itu bukan stadion sepakbola tetapi arena basket, jadi jangan sampai tertipu karena stadionnya ada di sebelahnya yang secara bangunan terlihat biasa saja berbeda dengan arena basketnya. Hal ini wajar karena seperti kita tahu basket ada olahraga nomor satu di Filipina.


Situasi dalam bis.


Bukan, ini hall basket bukan stadion sepakbola.
Setibanya di luar stadion suasana belum begitu ramai karena memang tuan rumah baru bertanding di malam hari. Yang cukup sering terlihat supporter dari Thailand,lawan timnas kita sore itu. Hanya ada segelintir supporter tuan rumah yang saya temui dan mereka mengajak foto bersama, usia-usia sekitaran baru masuk masa puber,masa pencarian jati diri. Mungkin mereka hipster yang sok anti mainstream yang agar terlihat keren mencoba jadi supporter sepakbola padahal sepakbola bukanlah olahraga populer di negaranya.

"So you fly to here for watching football?"

Tanya mereka penuh keheranan kepada rombongan kami. Sepertinya memang mereka belum terbiasa melihat militansi supporter sepakbola.
Disuruh jadi alay untuk live report MNC Sport

Sam Yuli Dirijen Aremania pun hadir. Mbois ker.


Waktu hampir menunjukkan lebih dari jam 4 kami berempat bersiap masuk ke stadion. Standar pengamanan cukup ketat, saya dan erwin yang membawa tongsis terpaksa harus menitipkannya di luar karena benda tersebut dilarang dibawa masuk. Saya kurang tahu apa alasannya, memang seberbahaya apa sih tongsis di Filipina, negara yang notabene membebaskan warganya untuk mempunyai senjata api. Philipine Sport Stadium sebenarnya tidak telalu besar dan biasa saja, akan tetapi dari sisi lapangan nampaknya masih lebih baik daripada Stadion Patriot Bekasi. Saya mulai masuk stadion dan tribun tidak terlalu ramai bahkan bisa dibilang lumayan sepi, maka sahihlah Philipine Sport Stadium sebagai stadion luar negeri pertama yang saya sambangi. Hujan mulai turun membasahi lapangan, sepak mula dilaksanakan pukul setengah 5 sore waktu Filipina. Brian, Bung Jo dan beberapa Aremania dipimpin Sam Yuli ada di pinggir tribun batas stadion dengan lapangan. Sedangkan saya, Erwin dan Aldo memilih kursi di agak atas bersama supporter yang lainnya mengatur formasi untuk membentangkan bendera Merah Putih dengan ukuran besar milik rombongan Aremania. Fairplay anthem mulai terdengar,pemain kedua kesebelasan mulai memasuki lapangan pertandingan. Tak lama momen yang saya tunggu datang, adalah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saya selalu suka momen ini dimana lagu kebangsaan jika dinyanyikan bersama ribuan orang di stadion,gemuruhnya seperti ada rasa merinding dan haru. Saat itu memang tidak sampai ribuan orang, tetapi yang lebih melipat gandakan rasa itu adalah kami semua menyanyikannya jauh di negeri orang bukan Indonesia.  

Memegang ujung bendera merah putih ukuran besar.


Pertandingan berjalan berat sebelah, tim lawan mendominasi di awal babak. Dua gol sudah mampu dilesakkan mereka yang salah satunya yang saya ingat adalah blunder dari pemain belakang asal Persib Bandung, Yanto Basna. Babak kedua dijadikan momen bangkit bagi skuat asuhan Alfred Riedl. Buktinya dua gol dapat dilesakan di awal babak kedua hasil dari Boaz Solossa dan striker debutan Timnas, Lerby. Menyamakan kedudukan hingga supporter garuda pun makin kencang bernyanyi memberi dukungan pada 11 pemain di lapang.  


"Tinggalkan ras tinggalkan suku bersatu dukung Garuda, Di bawah bendera merah putih,
Ayo maju ayo maju ayo maju, Jangan Kembali Pulang sebelum Garuda Menang"

Begitulah kutipan dari chant Aremania yang disesuaikan guna mendukung timnas,tidak itu saja nyanyian lagu-lagu bernuansa nasionalis terus berkumandang. "Indonesia pusaka" menjadi terdengar jauh lebih magis ketika dinyanyikan ribuan kilometer dari tanah air beta, sampai tidak terasa air mata haru ada yang menetes di salah satu penonton. Walaupun lagi-lagi keamanan Filipina sepertinya agak "kurang piknik" menyikapi kelakukan supporter yang di batas tribun berteriak-teriak, hingga terlihat Sam Yuli dipanggil dan diurus pihak kemanan stadion. Di luar hal itu apresiasi lebih layak disematkan untuk salah satu pemain yang paling berpengaruh saat itu, ialah Rizky Pora, penampilannya di sisi sayap terlihat berhasil cukup merepotkan kubu Thailand. Sangat berkelas. Ya meskipun hasil akhir Thailand mampu memperlebar hingga skor menjadi 4-2 untuk kemenangan. Tak apalah kalah dari Thailand sudah menjadi hal umum sebenarnya, serasa sudah ada gep kelas permainan yang makin lama kian jauh tertinggal.

A post shared by ivan setiadi (@ipanpakeve) on
 

Selepas pertandingan kami semua rombongan kembali ke dalam bis menuju KBRI, meeting point kami semua. Di bis beberapa pekerja perantau di Filipina tertawa di tengah obrolan, ketika saya dan Brian menceritakan kalau kami akan pulang ke daerah Malate, yang ternyata itu adalah salah satu red line distrik di Manila. Pantas saja semalam saat mencari makan di sepanjang jalan banyak sekali wanita-wanita berpakaian minim atau bahkan seorang pria memegang katalog bergambar beberapa wajah perempuan di depan klub malam. Sesampai di KBRI semua rombongan berpisah menuju tujuannya masing-masing. Dari pihak KBRI sempat menawarkan untuk menginap karena katanya disediakan ruangan jika untuk sekedar menginap semalam, ah sayang saya sudah terlanjur menyewa kamar. Saya,Brian,Aldo,Erwin dan Jo sebelum pulang ke penginapan mencari makan dulu di sekitar Makati, namun jam sudah menunjukkan lewat dari jam sepuluh jadi sulit mencari yang masih buka. Kami pun mencoba berjalan mencari-cari tempat makan mana yang beruntung. Berjalan sepanjang jalan Manila dengan masih memakai jersey timnas, dengan scarf merah putih, dengan bendera merah putih mengikat di leher dan dengan dihinggapi rasa chauvinis di dalam dada akhirnya menemukan tempat makan yang masih buka. Iya Jolibee kembali untuk kesekian kalinya. Jika ditanya apa makanan yang khas di Filipina mungkin ketimbang menjawab Balut (Embrio Telur Ayam), dengan jelas saya menjawab Jolibee. Dan di jolibee ini lah akhir dari pertemuan singkat kami, masing-masing akan embali ke penginapannya setelah sebelumnya kami sempat saling bertukar akun sosmed karena siapa tahu di lain kesempatan bisa berkumpul kembali. 

Aldo,Erwin,Brian,Ivan.

Brian dan saya pun kembali ke hostel, tetapi saya memutuskan untuk tidak tidur karena keesokan pagi buta saya akan terbang ke singapura untuk melanjutkan perjalanan sebelum pulang ke Jakarta. Tentu saya tidak mau mengambil resiko untuk bangun kesiangan. Beruntung Brian berbaik hati untuk mau menemani saya menghabiskan waktu sampai pagi, maka kami pun ke lantai 5. Lantai 5 hostel di malam hari ramai, pemandangan orang bule dengan minuman keras di genggamannya adalah pemandangan yang lazim. Saya yang tidak minum alkohol alhasil hanya memesan cola, dan ternyata Brian juga memesan cola. Entah, sepertinya dia mencoba untuk menghormati saya untuk tidak memesan bir malam itu. Kami pun berbicara tanpa arah dan tujuan sembari asik dengan handphone masing-masing,hingga saya mesti ke kamar untuk mengambil power bank tiba-tiba ada laki-laki kurus menghampiri saya berbicara bahasa tagalog dengan gestur kemayu. Saya yang tidak mengerti pun hanya tersenyum sembari berbicara bahasa inggris untuk permisi ke kamar. Sekembalinya dari kamar ternyata pria tersebut sudah duduk dan mengobrol bersama Brian. Kami pun akhirnya mengobrol bertiga, dia mulai bertanya dari mana kami berasal dan sudah berniat kemana saja selama di Filipina. Jadi dia sempat menyangka saya warga lokal sedangkan Brian adalah turis. Padahal selama ini saya menganggap kulit saya terlalu hitam untuk jadi orang Asia. Yang paling mengejutkan adalah ketika dia menanyakan orientasi seksual kami, "Are You gay". Suasana kemudian hening dan saya dan Brian saling pandang dan masing-masing pun mengaku sudah menikah demi tidak semakin panjangnya pembicaraan dengan dia. "No, I already married bro, anyway now i'm chatting with my wife in Indonesia". Sedikit berlebihan memang bohongnya padahal saat itu masih sekitar setengah semester baru menjadi pacar. Ya anggaplah saja doa. Ada amin? Aamiin. Habis mau bagaimana lagi saya pun sudah takut ketika melihat dia dihampiri teman lelakinya lalu berpelukan mesra. Nauzubillah min zalik. Setelah mendapat jawaban itu tidak lama dia dan temannya akhirnya pergi. Namun rasa kengerian masih belum pergi membuat saya cepat-cepat ingin pergi dari hostel. Namun apa boleh buat saya masih menunggu hingga jam setengah 4 baru berangkat menuju bandara agar tidak terlalu lama disana. Karena kata dunia maya bandaranya kurang representatif untuk datang di dinihari. Waktu terasa sangat lama hingga akhirnya jam setengah 4 datang saya berpamitan dan berterima kasih pada Brian, sembari menahan kantuk saya pun mesti bersiap untuk berangkat ke Bandara menuju Singapura. Dengan kondisi belum mandi seharian penuh.
Dukung Terus.

Leave your comment

Like us on Facebook